KABUL, KOMPAS.com - Salah satu orang paling kuat di
dewan penasihat Taliban, Agha Jan Motasim, hampir kehilangan nyawanya
akibat terjangan peluru karena mengusulkan negosiasi
dengan pemerintah kepada koleganya di Taliban.
dengan pemerintah kepada koleganya di Taliban.
Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press,
Minggu (13/5/2012), anggota Dewan Syura Taliban itu mengatakan, sebagian
besar anggota Taliban sebenarnya menginginkan perdamaian. Hanya sedikit
"yang berhaluan keras" dalam gerakan tersebut, katanya
"Ada dua
golongan Taliban. Yang satu percaya bahwa orang asing ingin memecahkan
masalah tetapi ada kelompok lain tidak percaya (orang asing) dan mereka
berpikir bahwa orang asing hanya ingin berperang," katanya melalui
telepon.
"Saya bisa katakan, bahwa sebagian besar Taliban dan
pemimpin Taliban menginginkan pemerintah berbasis luas bagi semua orang
Afganistan dan sistem Islam seperti negara-negara Islam lainnya."
Tapi
Motasim menyalahkan Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris,
karena gagal merangkul kaum moderat dalam gerakan Islam fundamentalis
dengan menolak untuk mengakui Taliban sebagai identitas politik dan
tidak menepati janji-janji. Semuanya disebutnya justru memperkuat
kalangan garis keras dan melemahkan kaum moderat seperti dirinya.
Dia
menyesalkan pembunuhan terhadap Arsala Rahmani, anggota Dewan
Perdamaian bentukan pemerintah, di Kabul pada Minggu kemarin. Selama ini
dewan itu secara aktif menggelar pembicaraan resmi dengan para
gerilyawan untuk mencapai kesepakatan damai. Rahmani pernah duduk di
kabinet ketika Afganistan dikuasai Taliban.
"Dia adalah seorang nasionalis. Kami menghormatinya," kata Motasim.
Motasim
menggunakan posisinya untuk mendorong perundingan tiga tahun sebelum AS
mulai menawarkan hal tersebut pada akhir 2010. Saat itu, Mostasim juga
memimpin komisi politik Taliban. Posisi berpengaruh itu dipegangnya
hingga dia ditembak pada Agustus 2011.
Saat inipun dia masih
menjadi anggota dewan pimpinan Taliban yang disebut Quetta Shura, yang
dinamai seperti kota Quetta di Pakistan.
Nyaris tewas
Suaranya
melunak dan sempat terhenti ketika dia ingat tembakan brutal yang
dialaminya di Karachi, Pakistan, tempat dia tinggal. Selama itu dia
bergerak di Afganistan dan Pakistan. Motasim menolak mengungkap
lokasi-lokasi yang dikunjunginya di kedua negara itu.
Dalam
serangan itu, tubuh Motasim ditembus beberapa peluru hingga dia harus
dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu. Lukanya sangat berat
sehingga diperkirakan tidak bakal bertahan hidup.
Berbicara dari
Turki, tempatnya menjalani perawatan lanjutan, Motasim menyebut para
penyerangnya adalah saudara dan kolega. Mungkin, katanya, mereka adalah
kaum garis keras Taliban yang menentang pendiriannya yang moderat.
"Gagasan
saya adalah sebuah pemerintahan berbasis luas, semua partai politik
bersama-sama dan mungkin beberapa di antara garis keras Taliban di
Afganistan dan Pakistan tidak suka mendengar ini dan mereka menyerang
saya," katanya.
Beberapa orang bersenjata mungkin berasal dari
Afganistan dan beberapa mungkin telah dari Pakistan Waziristan Utara di
mana kelompok militan telah menemukan tempat perlindungan, kata Motasim.
Ingkar janji
Awalnya
Motasim enggan berbicara tentang politik dengan alasan teman-teman dan
para koleganya meminta dia menutup mulut. "Saya tidak terlibat dalam
perundingan. Saya di sini hanya untuk menjalani perawatan," katanya.
Namun
pelan-pelan dia mulai terbuka. Katanya, Taliban memiliki tiga tuntutan
utama. Yakni mereka ingin semua tawanan Afganistan dikeluarkan rumah
tahanan militer AS di Guantanamo dan dekat Pangkalan Udara Bagram,
dihapuskannya nama-nama Taliban dari daftar hitam PBB, serta pengakuan
Taliban sebagai partai politik.
Ia mengatakan pembicaraan di Qatar
berakhir awal tahun ini setelah Amerika Serikat mengingkari janji untuk
membebaskan lima tahanan dari Guantanamo.
"Tapi itu hanya yang
terkenal," katanya. "Ada ribuan lainnya ditahan di Bagram dan mereka
ditahan dengan cap Taliban padahal mereka tidak bersalah, hanya petani
dan ulama."
Masalah pertukaran tawanan menjadi penuh sensitivitas ketika AS mengupayakan pembebasan tentaranya, Sersan Bowe Bergdahl yang ditawan Taliban sejak 2009, dengan tahanan Taliban di Guantanamo.
Masalah pertukaran tawanan menjadi penuh sensitivitas ketika AS mengupayakan pembebasan tentaranya, Sersan Bowe Bergdahl yang ditawan Taliban sejak 2009, dengan tahanan Taliban di Guantanamo.
Tampaknya
pertukaran tahanan itu gagal setelah pemerintah Afganistan menuntut
lima tahanan di Guantanamo direpatriasi. Sementara kelimanya menuntut
diizinkan pergi ke Qatar untuk tinggal dengan keluarga mereka.
Motasim
mengatakan, dia tidak mendapat informasi alasan para tahanan Taliban
itu tidak dibebaskan meskipun mereka bukan dari Taliban garis keras. Itu
menimbulkan anggapan pihak AS tidak jujur, kata Motasim, yang mengaku
mengetahui bahwa Taliban sudah membuka kantor di Qatar
Pengakuan secara politis
Kata
Motasim, kantor itu tidak mendapat pengakuan sebagai markas Taliban
secara politis. Selama ini kantor tersebut dianggap terselubung dan juru
runding AS menganggap mereka sebagai gerilyawan, bukan perwakilan
politik Taliban. Menurut Motasim sebagian besar anggota Taliban yang
bernegosiasi dengan pihak Amerika itu masuk dalam sanksi PBB.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi terhadap Taliban pada November 1999 karena menolak mengirim Osama bin Laden ke AS atau negara ketiga untuk diadili dalam dakwaan terorisme terkait pemboman terhadap Kedubes AS di Kenya dan Tanzania pada 1998.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi terhadap Taliban pada November 1999 karena menolak mengirim Osama bin Laden ke AS atau negara ketiga untuk diadili dalam dakwaan terorisme terkait pemboman terhadap Kedubes AS di Kenya dan Tanzania pada 1998.
Sanksi-sanksi yang meliputi larangan
bepergian, embargo senjata dan pembekuan aset itu kemudian diperluas ke
Al Qaeda. Pada Juli 2005, DK PBB memperpanjang sanksi-sanksi tersebut
agar bisa menjangkau semua kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan
Taliban dan Al Qaeda.
"Mereka (AS) harus memberi kebebasan secara politis pada Taliban," kata Motasim.
Menjelang pelaksanaan KTT NATO di Chicago pekan depan, Motasim mengatakan dia memiliki pesan kepada para peserta
"Keputusan
NATO seharusnya demi kebaikan Afganistan dan tidak mendorong lebih
banyak kekerasan. Keputusan itu harus menyerukan diakhirinya perang,
diakhirinya penyerbuan dan pembunuhan," tuturnya.
"Afganistan
hancur, rakyatnya tercerai-berai, menjadi pengungsi, warga miskin
meninggal di rumah mereka dan orang-orang asing pun meninggal di sini.
Itu semua harus diakhiri," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar